Kamis, 30 November 2017

Curhatan Emak Baru yang Belum Bisa Sabar

Telepon berdering berkali-kali, sebuah sms masuk, "say lagi bisa ditelpon ga?" (maklum sejak punya anak buat nelpon aja susah karena anak lagi ditimang-timang buat tidur, suami nelpon, dan anak bangun lagi 😩). Kalau sampai nelpon berkali-kali pasti ada sesuatu, ah haruskah suamiku keluar kota lagi? Rasanya baru minggu lalu ia keluar kota, masih terasa beban berat tiap kali ia pergi keluar kota beberapa hari, meninggalkan aku bersama bayi yang belum lulus asi eksklusif 6 bulan.

Ah, rasanya marah, kesal, berat, seharian menemani bayi, dan malamnya harus menemaninya bermain lagi, sementara di sepanjang malam, ada beberapa waktu bangun untuk menyusuinya. Ah sangat berat rasanya.

Terkadang sering sekali aku marah dengan keadaan, dengan anak, dengan suami..

Ah tapi jika pikiranku sedang jernih betapa Allah SWT sudah banyak memberikan pertolongan kepadaku.
Kenapa masih saja aku sulit bersyukur?

Betapa banyak wanita diluar sana yang harus kerepotan mengurus semua urusan rumah tangga dan anak sendirian, tanpa suami mau terlibat, sementara aku? Suami sangat sigap membantu, ia mengurus semua keperluan dirinya sendiri, tidak hanya itu, ia membantu mengerjakan pekerja rumah seperti mencuci, menyetrika, bahkan membantu mengurus bayi usia beberapa minggu itu. Itulah membuat aku ketergantungan. Dari setiap sore, pulang suami bekerja sampai anak tertidur malam, anak dipegang suami. Dan aku? Kadang berberes, namun lebih banyak berleha-leha.
Ah, dengan sebanyak itu bantuannya kepadaku, mengapa aku sangat sering marah ketika ia pulang kerja terlambat? Masih saja mengomel, masih saja menuntut ini itu. Alangkah lebih baiknya aku lebih mengambil sisi kebaikannya itu? Padahal ia bekerja pun demi kami, demi aku.
Ah, semestinya aku harus menempel di depan mataku sebuah hadits...

“ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Para shahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, Mengapa (demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka bertanya lagi: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:“Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas RA)

Aku harusnya kembali melongo kepada banyaknya pasangan yang sangat ingin memiliki anak, mengorbankan harta, waktu, sementara aku alhamdulillah dapat dikarunia anak yang lengkap, tak kurang sedikitpun. Mengapa aku masih kurang bersyukur? Bukankah kamu yang berdoa sepanjang pagi sampai malam dulu ketika baru beberapa bulan menikah belum juga dikarunia anak? Bukankah aku yang meminta amanah anak itu? Mengapa aku yang paling sering marah? Malah hampir terlintas dipikiranku untuk membunuhnya? Astagfirullah astagfirullah astagfirullah
Ibu macan apa aku? Bagaimana nanti kelak aku bisa mempetanggung jawabkan amanah yang aku minta kepada Rabb-ku ?
Sadarlah wahai diri, wahai emosi yang mendidih, Duhai diri yang dibisiki syaitan untuk marah, Sadarlah! bahwa anak-anakmu bukanlah milikmu, walau engkau telah melahirkan dan menyusui dengan susah payah, tapi tidak lantas hal tersebut menjadikanmu sebagai seorang ibu berhak melakukan apapun pada anak-anaknya! Apalagi memarahi mereka dengan hujan makian dan pukulan. Anak-anakmu merupakan titipan Allah yang suatu saat akan dikembalikan, dan Allah akan meminta pertanggungjawaban kita atas titipanNya. 

Sungguh aku masih harus mengulang-ulang sebuah kata..

"sesungguhnya kita tidak akan benar-benar menghargai mereka sebelum kita benar-benar kehilangan mereka"

Betapa masih banyak alpa diriku sebagai istri dan ibu.
Ketika pikiranku jernih, aku berpikir logis begini.
Namun ketika lelah melanda, sementara bayi masih minta ditemani dan berakhir dengan menangis, kerjaan banyak yang bertumpuk, semua ini terlupa, hanya emosi yang menguasai.
Ah sungguh aku masih harus harus banyak belajar..

La taghdob wa lakal jannah..Jangan marah bagimu surga...

-Dari istri yang masih belajar mengelola emosi
Dari ibu yang masih harus belajar semakin sabar
Dari diri yang masih belajar belajar menahan amarah, sabar, dan syukur-

Pemenang lomba terbaik adalah yang mengalahkan diri sendiri. Ayo belajar lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 30 November 2017

Curhatan Emak Baru yang Belum Bisa Sabar

Telepon berdering berkali-kali, sebuah sms masuk, "say lagi bisa ditelpon ga?" (maklum sejak punya anak buat nelpon aja susah karena anak lagi ditimang-timang buat tidur, suami nelpon, dan anak bangun lagi 😩). Kalau sampai nelpon berkali-kali pasti ada sesuatu, ah haruskah suamiku keluar kota lagi? Rasanya baru minggu lalu ia keluar kota, masih terasa beban berat tiap kali ia pergi keluar kota beberapa hari, meninggalkan aku bersama bayi yang belum lulus asi eksklusif 6 bulan.

Ah, rasanya marah, kesal, berat, seharian menemani bayi, dan malamnya harus menemaninya bermain lagi, sementara di sepanjang malam, ada beberapa waktu bangun untuk menyusuinya. Ah sangat berat rasanya.

Terkadang sering sekali aku marah dengan keadaan, dengan anak, dengan suami..

Ah tapi jika pikiranku sedang jernih betapa Allah SWT sudah banyak memberikan pertolongan kepadaku.
Kenapa masih saja aku sulit bersyukur?

Betapa banyak wanita diluar sana yang harus kerepotan mengurus semua urusan rumah tangga dan anak sendirian, tanpa suami mau terlibat, sementara aku? Suami sangat sigap membantu, ia mengurus semua keperluan dirinya sendiri, tidak hanya itu, ia membantu mengerjakan pekerja rumah seperti mencuci, menyetrika, bahkan membantu mengurus bayi usia beberapa minggu itu. Itulah membuat aku ketergantungan. Dari setiap sore, pulang suami bekerja sampai anak tertidur malam, anak dipegang suami. Dan aku? Kadang berberes, namun lebih banyak berleha-leha.
Ah, dengan sebanyak itu bantuannya kepadaku, mengapa aku sangat sering marah ketika ia pulang kerja terlambat? Masih saja mengomel, masih saja menuntut ini itu. Alangkah lebih baiknya aku lebih mengambil sisi kebaikannya itu? Padahal ia bekerja pun demi kami, demi aku.
Ah, semestinya aku harus menempel di depan mataku sebuah hadits...

“ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Para shahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, Mengapa (demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian mereka bertanya lagi: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:“Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar) terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas RA)

Aku harusnya kembali melongo kepada banyaknya pasangan yang sangat ingin memiliki anak, mengorbankan harta, waktu, sementara aku alhamdulillah dapat dikarunia anak yang lengkap, tak kurang sedikitpun. Mengapa aku masih kurang bersyukur? Bukankah kamu yang berdoa sepanjang pagi sampai malam dulu ketika baru beberapa bulan menikah belum juga dikarunia anak? Bukankah aku yang meminta amanah anak itu? Mengapa aku yang paling sering marah? Malah hampir terlintas dipikiranku untuk membunuhnya? Astagfirullah astagfirullah astagfirullah
Ibu macan apa aku? Bagaimana nanti kelak aku bisa mempetanggung jawabkan amanah yang aku minta kepada Rabb-ku ?
Sadarlah wahai diri, wahai emosi yang mendidih, Duhai diri yang dibisiki syaitan untuk marah, Sadarlah! bahwa anak-anakmu bukanlah milikmu, walau engkau telah melahirkan dan menyusui dengan susah payah, tapi tidak lantas hal tersebut menjadikanmu sebagai seorang ibu berhak melakukan apapun pada anak-anaknya! Apalagi memarahi mereka dengan hujan makian dan pukulan. Anak-anakmu merupakan titipan Allah yang suatu saat akan dikembalikan, dan Allah akan meminta pertanggungjawaban kita atas titipanNya. 

Sungguh aku masih harus mengulang-ulang sebuah kata..

"sesungguhnya kita tidak akan benar-benar menghargai mereka sebelum kita benar-benar kehilangan mereka"

Betapa masih banyak alpa diriku sebagai istri dan ibu.
Ketika pikiranku jernih, aku berpikir logis begini.
Namun ketika lelah melanda, sementara bayi masih minta ditemani dan berakhir dengan menangis, kerjaan banyak yang bertumpuk, semua ini terlupa, hanya emosi yang menguasai.
Ah sungguh aku masih harus harus banyak belajar..

La taghdob wa lakal jannah..Jangan marah bagimu surga...

-Dari istri yang masih belajar mengelola emosi
Dari ibu yang masih harus belajar semakin sabar
Dari diri yang masih belajar belajar menahan amarah, sabar, dan syukur-

Pemenang lomba terbaik adalah yang mengalahkan diri sendiri. Ayo belajar lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar